Pemilu 2014 lima bulan lagi. Perhelatan lima tahunan ini jelas penting bagi masyarakat. Mereka akan menyalurkan aspirasinya dengan memilih sosok-sosok politisi yang akan duduk di parlemen. Suara yang diberikan semestinya mencerminkan keterikatan masyarakat dengan para wakil rakyat itu.
Masalahnya, memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota tak sesederhana itu. Calon anggota
legislatif harus mendapatkan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan. Warga
pun harus mampu memilah ratusan, bahkan ribuan, nama dan foto calon dalam surat
suara untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam kaitan ini, penyelenggara pemilu menyiapkan kerja
besar. Parpol diverifikasi dan akhirnya menghasilkan 12 parpol nasional dan 3
parpol lokal di Provinsi Aceh. Kini, Komisi
Pemilihan Umum menjalankan tahapan pencalegan, pemutakhiran data pemilih, persiapan pengadaan barang dan jasa, serta terus menyusun berbagai aturan teknis.
Pemilihan Umum menjalankan tahapan pencalegan, pemutakhiran data pemilih, persiapan pengadaan barang dan jasa, serta terus menyusun berbagai aturan teknis.
”Kita beruntung. Betapapun sebagian besar orang memandang
pemerintahan Orde Baru buruk, tetap saja Orde Baru memberikan jasa yang sangat
berarti dalam bentuk pemilu berkala lima tahunan. Kalau tidak ada pengalaman
pemilu berkala, pasca-Reformasi negara ini mungkin sudah ambruk,” kata
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan saat menyampaikan orasi ilmiah 15
Tahun Reformasi, akhir Mei lalu.
Tahun Reformasi, akhir Mei lalu.
Terkait dengan pemilih, situasinya disebut menjadi lebih
kompleks di negara-negara demokrasi baru yang menerapkan desentralisasi
berskala luas, yang pada saat sama menerapkan sistem multipartai. Karena itu,
pemikiran Anies secara jelas menunjukkan ada dua pendekatan untuk memahami
hubungan antara sistem multipartai, pemerintahan multilevel terdesentralisasi,
variasi dalam situasi ekonomi daerah, dan keputusan memilih.
Pertama adalah pendekatan yang memberikan penekanan pada
desain institusional, yang diadopsi negara yang memungkinkan sebuah negara
menilai pihak atau partai mana yang bertanggung jawab terhadap situasi ekonomi
negara tersebut.
Kedua, pendekatan yang menekankan, apakah ada alternatif
yang kredibel yang bisa dipilih pemilih. Pendekatan ini menyatakan bahwa
keputusan pemilih untuk melakukan reward atau punishment terhadap
petahana berkaitan dengan kinerjanya. Ini bergantung pula pada apakah tersedia
dengan jelas kandidat atau partai alternatif yang kredibel (Anderson, 2000).
Terseok-seok
Setiap tahapan berlangsung terseok-seok. Verifikasi peserta
pemilu membuat dua puluhan parpol tersingkir dan menghasilkan sengketa pemilu
yang berlarut-larut. Tidak hanya di Badan Pengawas Pemilu, penyelesaian
sengketa juga diupayakan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah
Agung serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Keterbukaan peluang untuk mempertanyakan dan menggugat
adanya pelanggaran di setiap tahapan bermanfaat untuk menjaga akuntabilitas
tahapan pemilu. Namun, yang terlihat adalah perseteruan dan persaingan Bawaslu
dan KPU.
Bawaslu dengan kewenangan barunya untuk menangani sengketa
pemilu dan sengketa tata usaha pemilu meradang ketika KPU menolak putusan yang
terkait dengan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Puncaknya,
Bawaslu mengadukan KPU melanggar kode etik kepada DKPP.
Padahal, saat penyelenggaraan pemilu, sinergi antara KPU dan
Bawaslu sangat dibutuhkan. Hajatan besar ini tak akan terwujud maksimal tanpa
pengawasan baik. Kedua lembaga penyelenggara pemilu itu perlu membuktikan
kinerjanya kepada masyarakat.
Kendati masih ada kekurangan di banyak aspek, tahapan pemilu
menunjukkan hasil kerja KPU. Sementara Bawaslu terlihat kedodoran. Dalam sidang
penanganan sengketa verifikasi calon peserta pemilu, Bawaslu umumnya tidak
menggunakan data hasil pengawasan jajarannya. Laporan 25 halamannya pun lebih
berupa laporan kegiatan dengan temuan yang sangat minim. Kalaupun ada dugaan,
isinya hanya kesimpulan yang tidak ditunjang data lengkap.
Kesulitan Bawaslu bisa dipahami. Saat tahapan verifikasi
parpol peserta pemilu, Bawaslu baru membentuk Bawaslu di 26 provinsi. Sisanya,
pengawasan dilakukan Panwas Pilkada, lembaga pengawas ad hoc yang
dibentuk saat pilkada. Namun, sesungguhnya Bawaslu bekerja sama dengan pemantau
dan perguruan tinggi untuk memantau sub-tahapan verifikasi faktual parpol di
130 kabupaten/ kota di 33 provinsi.
Langgar kode etik
Sementara itu, DKPP sebagai penjaga etik tak kalah sibuk
memberhentikan anggota-anggota KPU atau Bawaslu yang dianggap melanggar kode
etik. Penyelenggara pemilu yang berpihak jelas tak bisa ditoleransi dan harus
diberhentikan. Namun, kesalahan administrasi tidak sepatutnya diganjar dengan
pemberhentian.
Ada 70 anggota KPU di sejumlah daerah yang diberhentikan
sejak 2012 dengan berbagai alasan. Akibatnya, KPU provinsi atau KPU pusat pun
harus mengambil alih pekerjaan yang ditangani KPU daerah. Misalnya, KPU Jawa
Timur kini mengerjakan persiapan Pilkada Jawa Timur, melaksanakan tahapan
Pemilu 2014, serta mengambil alih pekerjaan KPU Lumajang dan Pamekasan. Beban
bertumpuk, tetapi semua tetap harus dikerjakan.
Banyak harapan, DKPP tegas menjaga etik, tetapi tidak
terlampau mempersoalkan kesalahan administrasi. Kesempurnaan dalam
penyelenggaraan pemilu yang rumit dirasa tak mungkin. Pagar pelindung
penyelenggara pemilu hanyalah independensi. Di sisi lain, politisi juga
semestinya konsekuen dengan berbagai persyaratan dan aturan yang ditetapkan
dalam perundang-undangan.
Atas perjalanan yang terseok- seok itu, Ray Rangkuti,
pengamat pemilu, mengatakan, sistem pemilu dan penyelenggaraannya sudah benar.
Yang kosong adalah komitmen parpol yang kerap menyalahkan sistem. Padahal, itu
terjadi akibat ketidakpahaman parpol dalam memahami aturan.
Kini, komitmen penyelenggara juga patut ditagih oleh rakyat.
Pemilu yang bersih, jujur, adil, terbuka, dan independen tentu menjadi harapan
bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar